BAB
1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Potensi
pemuda untuk masuk ke dunia politik di Indonesia tidaklah kecil. Potensi mereka
justru dapat dikatakan besar.Potensi yang besar itu sekarang ini di Indonesia
jarang yang dikembangkan dan dibina terus menerus, hal ini terlihat paritisipasi
pemuda dalam partai politik masihlah kecil, walaupun ada juga yang ikut dalam
partai politik serta berpengaruh terhadap politik di Inonesia.
Partisipasi
mereka dalm kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan politik juga masihlah kecil
padahal merekalah yang nantinya akan menentukan
nasib bangsanya Dunia politik di Indonesia didominasi oleh orang-orang yang
lebih tua serta lebih banyak pengalaman dibandingkan dengan orang muda. Orang
muda disini dapat dikatakan mereka yang berumur di bawah 25 tahun.
Mereka
dianggap kurang berpengalaman untuk ikut serta dalam Mempengaruhi situasi
politik di Indonesia, mereka tidak diberi kepercayaan untuk ikut membuat
kebijakan-kebijakan dalam organisasi politik yang berpengaruh bagi banyak
orang. Orang-orang tua ini yang lebih berpengalaman takut apabila
kebijakan-kebijakan yang orang muda buat merugikan banyak pihak.Untuk dapat
mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki orang-orang muda dam berpolitik
sebaiknya orang-orang muda ini diberi pendidikan politik di sekolah maupun diberi aktivitas-aktivitas
yang berkaitan dengan politik.
Hal
itu dilakukan agar mereka mendapat pengetahuan lebih tentang politik serta
terbiasa dengan hal-hal yang berkaitan dengan politk. Pendidikan maupun aktivitas
politik ini mungkin dapat diberikan pada saat SMA atau bahkan SMP agar mereka
terbiasa dengan hal-hal yang berkaitan dengan politik sehingga nantinya minat
mereka untuk masuk ke dunia politik di masa yang akan datang dan dapat
memperbaiki kondisi politik di Indonesia.Orang-orang muda yang terjun dapat
memberikan banyak manfaat dalam merubah kondisi politik di Indonesia saat ini yang kurang baik.
Pemikiran-pemikiran
mereka yang cerdas serta cara pikir atau pandang mereka yang baik mungkin dapat
memperbaiki kondisi politik di Indonesia. Kondisi politik di Indonesia yang
saat ini diwarnai dengan golongan elite yang menjadikan politik sebagai tempat
untuk mendapatkan kekuasaan dan uang
sehingga mereka tidak memikirkan orang lain, yang mereka pikirkan hanyalah
mendapat kekuasaan serta uang yang mengakibatkan kepentingan-kepentingan orang
lain terlupakan.
Golongan
elite dalam dunia politik ini tidak lain adalah orang-orang tua yang yang hanya
memikirkan kehidupan mereka dari pada memikirkan kehidupan orang lain. Dengan
pemikiran mereka yang cerdas orang-orang muda diharapkan dapat memperbaiki
kondisi politik di Indonesia menjadi lebih baik Orang-orang tua yang sudah
terlebih dahulu masuk ke dunia politik diharapkan memberikan kepercayaan dan
kesempatan pada orang-orang muda agar dapat masuk ke dunia politik di
Indonesia. Dengan masuy.a orang-orang muda dalam dunia politik di Indonesia
diharapkan kondisi politik di Indonesia dapat berubah dan dapat
mensejahterahkan kehidupan banyak orang.
1.2
Rumusan Masalah
1.1
Jalan panjang era reformasi
2.2.
Peran pemuda dalam manifestasi demokrasi terhadap pemilihan umum
2.3.
Pemuda dan perubahan politik
2.4.
Dunia yang terbelah
2.5
Apa kata sejarah
2.6
Dari ujung barat Indonesia
1.3
Tujuan
1. Mengenal jalan panjang era reformasi
2. Mengetahui peran pemuda dalam manifestasi
demokrasi terhadap pemilihan umum
3. Mengetahui peran pemuda dan perubahan politik
BAB
2. PEMBAHASAN
“berikan
padaku 10 pemuda revolusioner, maka akan ku guncang dunia…” (Soekarno, Proklamator
RI) Sengaja penulis mengawali tulisan ini dengan mengutip perkataan dari Bung
Karno, Proklamator Indonesia sekaligus Presiden pertama Republik Indonesia.
Sekadar untuk menelaah lebih jauh potensi kekuatan yang dimiliki oleh pemuda.
Sebuah fase yang membedakannya dengan
fase yang lain. sebuah fase dimana segenap potensi yang terdapat di diri dapat
dimaksimalkan.
Menarik
ketika membicarakan peran pemuda kaitannya dengan pergulatan politik di tanah
air. Sejarah menunjukkan, sejarah bangsa ini tidak lepas dari peran pemuda,
khususnya mahasiswa. Telah tercatat dalam sejarah bangsa ini, 6 fase penting
pergerakan pemuda. Angkatan’08 menjadi awal dari revolusi yang digawangi oleh
pemuda dengan lahirnya Budi Utomo. Disusul dengan angkatan’28 dengan Sumpah
Pemudanya yang menjadi momentum konsolidasi nasional, kaitannya dengan
perjuangan bangsa meraih kemerdekaan. Proklamasi kemerdekaan ’45 pun tidak
lepas dari kegigihan pemuda yang “menekan” golongan tua untuk memproklamasikan
kemerdekaan RI.
Selain
itu, cerita dari angkatan ’66 dengan tumbangnya Soekarno dan lahirnya orde
baru, angkatan ’74 dengan peristiwa malarinya, angkatan ’98 yang meruntuhkan
Soeharto dengan orde barunya telah menjadi bukti bahwa keberadaan pemuda tidak
sebatas dalam ranah advokasi semata. Lebih dari itu pemuda juga terlibat jauh
dalam dinamika konstelasi politik nasional.
2.1
Jalan Panjang Era Reformasi
Runtuhnya
era orde baru, dan digantikan dengan era reformasi menimbulkan secercah harapan
tentang adanya perubahan. Sudah barang tentu, perubahan yang dimaksud adalah
beralihnya sistem pemerintahan yang awalnya sentralistik-otoritarian, beralih
pada desentralis - libertarian.
Otonomi
daerah menjadi salah satu agenda penting yang tidak dapat ditawar lagi.
Mengapa? Selain untuk menghindari pemusatan alokasi kekuasaan. Yang demikian
juga ditujukan untuk menghindari ketidakadilan akibat kebijakan pemerintah pusat
yang tidak berpihak terhadap kepentingan daerah. Berapa banyak potensi
disintegrasi bangsa bermunculan akibat tudingan ketidakadilan tersebut.
Kini,
agenda otonomi daerah telah berjalan mulus. Namun, otonomi daerah hanyalah
salah satu langkah awal yang akan dilalui pada era reformasi ini. Masih banyak
pekerjaan rumah dari pemerintah untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis
dengan saluran yang sudah ada. Yang demikian adalah untuk mendorong terciptanya
masyarakat madani (masyarakat warga) yang menjadi ciri terciptanya masyarakat
demokrasi. Masyarakat inilah yang akan mengimbangi kekuasaan Negara.
2.2.
Peran Pemuda dalam Manifestasi Demokrasi terhadap Pemilihan Umum
Ironisnya
sebagian besar pemuda sebagai salah satu komponen masyarakat yang memegang
peranan dalam menentukan arah kebijakan suatu pemerintahan.menjadi roda
penggerak masyarakat, belum menyadari peranan pemilu dalam kehidupan demokrasi.
Penyebabnya adalah pemuda belum mengerti
arti penting pemilu dalam kehidupan bernegara, sehingga muncul paradoks
terhadap esensi pemilu.
Berbagai
fakta ditemukan dalam praktek pelaksanaanya. Mulai dari perubahan cara memilih
yang semula dicoblos menjadi dicentang kemudian ukuran surat suara yang terlalu
besar seakan-akan menggambarkan bahwa pemilu tidak memudahkan masyarakat untuk
menentukan siapa yang akan menjadi pengemban amanah mereka.
Hal
tersebut semakin menjadi ketika pemuda merasa kecewa karena propaganda yang
dielukan oleh politisi ketika berkampanye pada pemilu sebelumnya tak kunjung
direalisasikan. Sehingga keikutsertaan pemuda dalam pemilu dapat dikatakan
tidak berpengaruh.
Padahal
jika mereka mau menelisik lebih dalam mengenai esensi pemilu itu sendiri,
mereka akan menemukan peran penting pemilu guna terselenggaranya tatanan
pemerintahan yang dinamis. Sebagaimana yang dijabarkan dalam UUD 1945 Pasal 22E
ayat 2, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.” Sebagai contoh, jika ada sepuluh saja pemuda yang
tidak turut serta dalam pemilihan umum, sama artinya dengan membuka peluang
sekian persen untuk dipimpin oleh politisi yang tidak diinginkan selama ini.
Dan
pemuda yang tidak turut serta dalam pemilihan umum merupakan pemuda yang
antipati pada dunia pemilu, politik, kenegaraan, lebih pada pemuda yang tidak
mengerti arti demokrasi serta acuh terhadap negerinya. Jika ada pandangan
negatif tentang pemilu, politik, perlu adanya pelurusan dan pemahaman ke arah
sana. Sehingga melalui pemilihan umum inilah para pemuda dapat mempelajari
makna demokrasi yang dilambangkan melalui pemilu.
Mengingat
tujuan utama pemilu adalah mencari, menentukan pemimpin-pemimpin dalam
pemerintahan, maka sebagai insan politik yang menjunjung tinggi tujuan
nasional, partisipasi aktif dalam menggunakan hak pilihnya memberikan pengaruh
terhadap kelanjutan pemerintahan yang
dijalankan oleh wakil mumpuni yang benar-benar pilihan masyarakat luas demi
masa depan yang lebih baik.
Pemilu
secara tidak langsung juga meningkatkan kepekaan pemuda dalam situasi politik
yang sedang terjadi agar tidak menimbulkan euforia pemilu yang berkelanjutan.
Seperti yang sedang terjadi, situasi menjelang pemilu 2009 menunjukkan bahwa
pemilu adalah wahana untuk menyuarakan demokrasi secara berlebihan.
Tidak
hanya turut aktif dalam menyampaikan aspirasi politik pemuda dalam pemilu namun
berpartisipasi dalam mensosialisasikan esensi pemilu itu sendiri kepada pemuda
lainnya yang berpandangan sempit tentang pemilu seharusnya dapat dilakukan
untuk meningkatkan kesadaran politik masyarakat pada umumnya, khususnya pemuda.
Hal
ini mengingatkan akan arti dari budaya demokrasi partisipan,yakni budaya
politik yang anggota masyarakatnya sangat partisipatif terhadap semua objek
politik, yang erat kaitannya dengan demokrasi Pancasila.
2.3
Pemuda dan Perubahan Politik
Mengungkapkan
realitas politik sebagaimana dingkapkan sebelumnya tegas disimpulkan bahwa
transformasi politik adalah suatu keniscayaan, sehingga sekurang-kurangnya yang
menjadi agenda atas persoalan itu adalah; Pertama; soal bagaimana para
elit-elit partai politik mampu memberi arti keberadaan suatu partai politik,
bukan semata pada tujuannya untuk menjadi instrumen pencapaian kedudukan, tetapi jauh lebih berarti adalah
menggerakan fungsi-fungsinya untuk mengartikulasikan kemaslahatan rakyat
banyak.
Kedua,
bagaimana elit-elit para pelaku politik untuk tidak terjebak pada adagium dan
paradigma lama untuk meletakkan status quo, tetapi pada komitmen dan integritas
sebagai elemen perubah. Ketiga, bagaimana para pelaku politik mampu mendorong
tercipatanya sistem politik di satu sisi, dan menggerakkannya secara
komplementer dengan budaya politik yang bertum-buh kembang di tengah
masyarakat.
Jika
ketiga soal tersebut dijadikan sebagai agenda transformasi politik, maka selain
kaum intelektual dan cerdik cendekia posisi peran pemuda diharapkan menjadi
instrumen penentu, sebagaimana rentetan pergerakannya yang dicatatkan dengan
tinta emas dalam potret sejarah perubahan bangsa Indonesia, baik sebelum
kemerdekaan (kebangkitan nasional 1908, per-sepakatan satu bangsa 1928, dan memproklamirkan
kemerdekaan Indonesia 1945), maupun sesudah Indonesia merdeka (Tritura 1966, Malari
1974 dan reformasi 1998).
Hanya
saja, persoalan lain yang sampai saat ini belum terselesaikan, adalah soal pola
dan bentuk gerakan kaum muda dalam menggerakkan suatu perubahan. Yaitu antara
gerakan struktural dalam bentuk pemberontakan,19 ataukah gerakan kultural dalam
bentuk.
penciptaan
kesadaran hak-hak dan tanggungjawab sebagai warga negara. Penganut gerakan
kultural menuding bahwa gerakan struktural tidak menyentuh pada substansi
persoalan, semen-tara penganut struktural berdalih bahwa gerakan kultural
sangat lamban dalam melakukan perubahan. Meskipun, dari sisi proses keduanya
memiliki tarik ulur yang sama kuatnya, tetapi ketemu pada tujuan pencapaiannya
dalam melaku-kan perubahan.
Untuk
itulah, selain karena memiliki pembenarannya masing-masing, juga karena
keduanya memiliki pencapaian tujuan yang sama, sehingga soal itu tidak mesti
harus diselesaikan. Tetapi dalam melakukan transformasi politik era reformasi,
keduanya sama-sama menjadi penting.
Transformasi
politik di satu sisi adalah soal struktural, sebagaimana tujuan partai politik
untuk mencapai kekuasaan, membangun sistem politik, dan bagaimana para pelaku
politik mampu menggerakkannya. Selebihnya transformasi politik secara kultural
menjadi suatu yang absah, yaitu
bagaimana menggerakkan partai politik untuk menjalankan fungsi-fungsinnya bagi
masyarakat setidak-tidaknya para pengikutnya, untuk menciptakan suatu budaya
politik yang egalitarian, berdasarkan komitmen pembaharuan dari para pelaku
politik.
Kedua
sisi itulah yang melingkupi kaum muda dalam realitas politik dalam melakukan
transformasi politik. Secara struktural (dalam pemahaman ini), jauh lebih
memungkinkan untuk mampu digerakkan oleh kaum muda jika mengambil posisi peran
sebagai praktisi politik dalam struktur partai politik, untuk menggerakkan
kelembagaan partai politik secara institusional. Mengge-rakkan roda organisasi
untuk melakukan reproduksi mekanis atas suatu peristiwa politik, bukan untuk
pencapaian tujuan kekuasaan semata, tetapi menggerakkan fungsi-fungsinya untuk mengkomunikasikan dan
mensosia-lisasikan politik, serta memanfaatkan partai politik sebagai sarana
pengatur konflik.
Sama
berartinya jika kaum muda mengambil posisi untuk melakukan transformasi politik
secara kultural, dengan melihatnya bahwa kerja-kerja politik bukanlah urusan
teknis yang mekanistik, tetapi pekerjaan intelektual.
Yaitu
menggerakkan tujuan perubahan berdasarkan pergulatan dan dialektika yang intens
dilakukannya antara persepsi dirinya dengan bagaimana meman-dang suatu
peristiwa politik, kaitannya dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatan
tertinggi dalam suatu bangunan negara. Dengan itu, bentuk peru-bahan yang
dilakukannnya adalah merupakan pergulatan dirinya dengan persoalan dengan
melibatkan tanggungjawab sosialnya dan integritas intelektual yang dimilikinya.
Cita-cita
ideal yang diharapkan atas dua pola pendekatan transformasi politik itu, adalah
terbangunnya budaya politik (cultur politic) dan masyarakat madani (civil
society), yaitu menggerakkan keadaan sebagaimana mestinya, mempertimbangkan
kemanfaatannya, serta memberi perspektif terhadap nilai yang sedang dianut
ditengah masyarakat sebagai budaya politik dan mengar-tikulasikannya dalam
sistem politik, untuk selanjutnya bermuara kembali menjadi budaya politik, dan
selanjutnya. Itu artinya bahwa, bagi kaum muda yang akan melakukan transformasi
politik, bukanlah suatu tanggungjawab yang bebas nilai, tetapi memiliki
seperangkat nilai yang menjadi referensi perge-rakannya, serta memperjelas
posisi gerakannya, maupun untuk membentangkan visi ideal yang menjangkau ke
depan atas cita-cita yang hendak di-capainya.
Pemaknaan
atas pola pergerakan yang sedemikian itu, referensi nilai dijelaskan Dirk
Huels21 adalah unsur konstitutif yang menentukan watak dan kepribadian, karena
memerlukan kejujuran dan keikhlasan untuk berani menjauhkan unsur-unsur
subjektif bagi kepentingan diri semata, tetapi berikhtiar pada objektivitas
atas suatu perangkat nilai untuk tetap setia pada ide dasar dan cita-cita
perjuangan yang telah digariskan sebelumnya, dan jauh lebih mengedepankan
tujuan jangka panjang dan untuk tujuan kemaslahatan orang banyak. Pada saat
adanya kepentingan dalam suatu tanggungjawab, pada saat itu jugalah
objektivitas memerlukan ujian sebagai pertaruhan integritas terhadap setiap
diri.
Suatu
yang pada dasarnya memang semakin paradoksal sekali sifatnya, karena menjadi
suatu yang sejak mula adanya politik dan partai politik itu sendiri sebagaimana
diungkapkan diawal tulisan ini substasinya adalah soal problematika kepentingan
itu sendiri, dalam kamus politik dikenal pameo “Tidak ada kawan abadi, yang
abadi adalah kepentingan itu sendiri”.
Jika demikian mestinya, masih mampukah kaum
muda diharapkan menjadi elemen perubah dalam tatanan politik ke-Indonesia-an
mendepan, ataukah hanya berposisi jadi elemen pengabsah atau suatu realitas
politik yang sudah demikian adanya.Untuk memberi jawaban sederhana terhadap
soal itu, bahwa kultur politik era reformasi saat ini, yang menjadi realitas
politik yang melingkupi kaum muda, tidak memungkinkan lagi baginya untuk
berposisi sebagai pengabsah semata. Jika tidak ingin bergeser dari ideologi
pragmatisme,22 maka sistem politik ke-Indonesia-an yang sedang berubah dan
bergerak begitu sangat cepat, pasti akan menggilasnya.
2.4.
Dunia Yang Terbelah
"Rural
youth, that is, the teen-age boys and young men, handle themselves toward their
society with a great deal of independence … In a real way, at this age, they
are beyond social law—bright, curious, forever under foot, but never seriously
rebuked or disciplined…Congruent with this high degree of independence and
solidarity is the unique social role assigned to youth by the villager and
indeed by Javanese society in general. The djaka, or, as they are more often
called, the pemuda (a term expressive of their ‘dynamic’ character and the
prefered term among modernist), are given powerfull social license by their
society to take on the more vigorous, emotionally arousing social tasks
requiring brusque, aggressive, even socially violent action … In the eyes of
the Javenese the “youth” were the guerrilla fighters par-excellence in the
postwar struggle against the Dutch. They have also been consistently the
vanguard for political struggle in rural Modjokuto."
(Robert R. Jay. Religion and Politics in
Rural Java, 1963: 90-93)
Jay
menulis komentar ini ketika ia melakukan penelitian lapangan di wilayah Kediri,
Jawa Timur, pada dekade awal tahun 1950an. Dan tidak disangkal, banyak peneliti
asing tentang Indonesia telah terkesan dan menulis mengenai sifat ’dinamis’
pemuda yang dalam istilah Jay disebut sebagai ’guerrilla fighters
par-excellence’ atau ‘vanguard for political struggle’ di wilayah kajiannya.
Salah satunya adalah ilmuwan politik terkenal di Indonesia, Benedict Anderson
yang mengabadikan sifat dinamis itu sebagai motor penggerak dari revolusi
Indonesia [Benedict Anderson: 1972]. Dari fakta sosial dan kultural semacam
ini, idealisasi konsepsi pemuda dalam kehidupan politik Indonesia kontemporer
terus terabadikan seperti tertuang dalam ritual tahunan Sumpah Pemuda pada
tanggal 28 Oktober yang dikenang sebagai tonggak ketika kaum muda Indonesia
menjadi motor penggerak lahirnya sebuah bangsa bernama Indonesia.
Meskipun
demikian, dalam sebuah real-politics atau kenyataan rutin kehidupan
sehari-hari, pemuda tidak mengalami hidup seindah citra yang dibentuk dalam
konsepsi budaya dan ritual politik Indonesia. Siapapun harus siap kecewa
terutama kaum muda itu sendiri ketika mereka harus hidup dalam dunia nyata dan
mempertanyakan peran apa yang harus diambil dalam masyarakat mereka.
Sifat
paradoksikal dari dunia pemuda dan kehidupan nyata yang mereka alamterlepas
dari bagaimana idealisasi terhadap konsepsi pemuda dalam masyarakat Indonesia
dinyatakan dengan baik oleh Clifford Geertz yang dalam dekade sama dengan Jay
mengamati kehidupan masyarakat Indonesia, tepatnya di bagian timur pulau Jawa
ketika ia mengamati hasil sistem pendidikan barat yang menghasilkan sebuah
kelompok sosial yang lepas dari dunia sosial mereka, tetapi tidak jelas betul
bagaimana posisinya. Seperti Geertz katakan ‘this emergent Indonesian
“youth-culture”, made up of an intense, idealistic, and perpelexed group of
young men and women who have suddenly been projected into a world thay never
made ...’[Clifford Geertz. 1976: 378].
Dalam
kehidupan sehari-hari politik Indonesia sekarang ini, sifat paradoksikal
tersebut tidak dapat disangkal timbul tenggelam dalam setiap moment ketika keresahan dan situasi sosial
menuntut idealisme pemuda tampil ke permukaan. Dalam kaitan ini, seperti belum
lama ini kita bisa amati dalam media massa Indonesia, sekelompok pemuda di
Jakarta telah mendeklarasikan sebuah tuntutan tentang pentingnya pemuda
mengambil peran kepemimpinan dalam masyarakatnya. Agak mengherankan memang,
cetusan yang ditampilkan bukanlah sebuah dunia baru dari ‘masyarakat lama’
Indonesia yang membutuhkan dinamika baru, tetapi lebih pada cetusan ‘perang
generasi’ yang mana kelompok pemuda ini menyalahkan kerusakan sosial, politik
dan ekonomi Indonesia sekarang ini pada senior-senior mereka yang menduduki kursi kekuasaan.
Bukan
sebuah ‘revolusi’ atau agenda politik yang menawarkan dinamisme pemuda yang
tampil dalam cetusan tersebut, tetapi lebih pada sebuah posisi dalam masyarakat
yang memang jauh dari gapaian kelompok tersebut. Tidak mengherankan bila
kemudian muncul tantangan dan kritik bahwa soal kepemimpinan bukanlah soal
perbedaan generasional, tetapi lebih pada kapasitas, pengalaman dan visi
seseorang. Selain itu, kepemimpinan bukan sesuatu yang dapat diminta, melainkan
direbut untuk kemudian dijalankan.
2.5
Apa Kata Sejarah
Pemuda
dan karakter dinamisnya pada dasarnya bukan cuma pengalaman unik Indonesia.
Sejarah dunia telah menunjukkan bagaimana kaum muda menempatkan diri sebagai
sebuah kekuatan kolektif menjebol tatanan mapan dan memimpikan dunia baru.
Revolusi Kebudayaan di Tiongkok menunjukkan bagaimana anak-anak muda keluar
dari kehidupan keluarga mereka, membentuk brigade-brigade kampung dan desa
dengan membawa buku kecil merah berisi ajaran Mao Tse Tung tentang revolusi di
Tiongkok yang belum selesai.
Dalam
tataran politik formal, tidak dapat disangkal bahwa revolusi kebudayaan adalah
bagian dari sebuah pertarungan politik antara elit kekuasaan di Tiongkok saat
itu. Tetapi dinamikanya ada di tangan kaum muda.
Bisa
dibayangkan, tokoh terhormat revolusi sosialis Tiongkok, Deng Xiao Ping,
misalnya, telah dicaci maki oleh orang-orang muda belia yang sebelumnya tidak
lebih bayi merah ketika Deng membangun tentara petani menggulingkan kekuasaan
Chiang Kai sek.
Di
benua Eropa, mungkin kita dapat mengingat bagaimana mahasiswa Prancis memulai
revolusi melawan pemerintahan De Gaule pada bulan Mei 1968. Kalau awalnya
tuntutan mahasiswa bergerak memprotes seputar kejumudan sistem pengajaran di
perguruan tinggi Prancis saat itu, namun kemudian pergerakan itu tumpah-ruah
kejalanan, membangun barikade-barikade menuntut transformasi radikal dalam
dunia sosial Prancis yang telah mapan pada saat itu. Filsuf ternama Prancis,
Jean Paul Sartre, yang terkenal dengan aliran existensialismenya turut menjadi
bagian gelombang ini. Dinamika pemuda dalam revolusi Mei 1968 meskipun kemudian
dikalahkan menjadi lambang bagi filsuf itu untuk melihat dimensi subyektif
manusia menjebol sebuah struktur sosial, politik, budaya yang menjadi
kerangkeng manusia.
Dan
terakhir mungkin bisa dilihat pula apa yang disebut sebagai ‘generasi bunga’
pada yang berpengaruh besar terhadap kehidupan sosial politik Amerika Serikat
pada dekade 1960an dan 1970an. Semangat jaman dekade tersebut sampai saat ini
masih dapat kita rasakan melalui ikon-ikon pop dunia seperti The Beatles dengan
lagu berjudul Revolution dalam raungan suara gitar elektrik bernada Rock N Roll
yang mencerminkan semangat jaman penuh pemberontakan saat itu, atau lengkingan
gitar Jimi Hendrix serta lirik-lirik anti perang yang dibawakan oleh Joan Baez,
Bob Dylan dan sebagainya. Tak urung, rejim militer Orde Baru pada saat mulai
berkuasa telah mengkhawatirkan pengaruh dari tingkah polah generasi bunga itu
seperti tercermin dalam tanggapan mereka menghadapi aksi-aksi pemuda yang
memprotes rejim tersebut yang kemudian dikenal sebagai Malari pada tahun 1974.
Ketika
menceritakan revolusi Indonesia dan kaitannya dengan peran pemuda, Gie
mengatakan bahwa ‘bagi pemuda-pemuda Indonesia umumnya revolusi mempunyai arti
yang lebih luas dari sekedar daripada kemerdekaan bangsa, kedaulatan negara dan
kemerdekaan ekonomi.’ Semangat jaman pemuda, seperti dikatakan Gie, ‘adalah
pembaharuan atas segala nilai-nilai hidup.’ Revolusi, sebuah periode ketika
tatanan lama goyah dan tatanan baru belum jelas terbentuk, dan dorongan
terpenting bagi kaum pemuda saat itu adalah kesadaran mereka untuk menempatkan diri sebagai
‘pembebas penderitaan rakyat.’ Mereka [pemuda-pemuda revolusi], ‘seolah-olah
bersumpah pada rakyat bahwa mereka akan menghilangkan kemiskinan dengan
kemerdekaan. Dan secara tidak sadar mereka dikejar-kejar oleh ‘sumpahnya’
tadi.’
Dalam
tingkat ekstrem, ekspresi pembaharuan ini menjalar pada tingkat kehidupan
sosial lama yang menyinggung ‘ikatan keluarga dan perkawinan’. Revolusi telah
membawa penempatan baru bagi para pemuda untuk berjarak pada hubungan ‘ayah dan
anak’ sejauh terjadi pertentangan ideologi di antara mereka. Contoh kasus
adalah kemarahan Mayor Wiranatakusumah ketika mengetahui ayahnya, R.A.
Wiranatakusumah memproklamasikan diri sebagai kepala negara Republik Pasundan.
Bahkan dalam suasana revolusioner seperti itu, Bung Tomo, yang sengaja
memelihara rambut gondrongnya, pernah bersumpah bahwa ia ‘tidak menjalankan
kewajiban dan hak sebagai suami-istri sebelum ancaman terhadap kedaulatan
negara dan Rakyat dapat dihalaukan.
Tetapi
yang terpenting dari segala ekspresi pemuda dalam revolusi, seperti dikatakan
Gie, adalah: Jika pada nilai-nilai dasar yang essensial perkawinan, hubungan
ayah dan keluarga telah ‘dilanggar’ oleh revolusi, maka nilai-nilai lain yang
lebih formal dengan mudah dilepaskan pula. Sikap terhadap pamong praja,
terhadap bangsawan-bangsawan feodal ataupun terhadap hubungan lainnya lebih
mudah dilanggar.
Dalam
suasana psikologis dan demam revolusi terjadi Peristiwa Tiga Daerah, revolusi
sosial di Sumatra Timur, revolusi sosial di Solo, pembunuhan orang-orang Cina
di Tangerang, Bumiayu dan lainnya.
Semuanya bersumber pada pemberontakan
dari nilai-nilai baru (yang sangat diak jelas untuk kebanyakan pemuda sendiri)
terhadap nilai- nilai lama. Bagi pemuda umumnya revolusi berarti tantangan
untuk mencari nilai-nilai baru dan pencarian inlah kita akan mengerti
frustasi-frustasi yang timbul kemudian.
Analisis
cerdas Gie dalam uraiannya mengenai revolusi Indonesia mengantarkan kita pada
aspek essensial peran pemuda dalam proses sejarah di negeri ini. Segala unsur
remeh yang banyak dilecehkan dan dicela oleh mereka yang berada dalam dunia
mapan seperit hubungan seksual yang longgar, anti-lembaga perkawinan dan
kegarangan pemuda bagi Gie adalah riak saja yang menunjukkan potensi bagi
mudahnya mereka ‘melanggar nilai-nilai lain yang lebih formal’ dalam dimensi
sosial, ekonomi dan politik masyarakat.
Dapat
disimpulkan bahwa apa yang dikatakan sejarah terhadap sosok pemuda baik di
Indonesia maupun di luar adalah fakta bahwa mereka adalah kekuatan utama yang
membawa dengan gigih sebuah ‘semangat jaman’ baru bagi masyarakatnya.
Pengalaman ketika reformasi politik di Indonesia bergulir pada bulan Mei 1998
sedikit banyak memberikan betapa gambaran yang ditunjukan Gie lima dekade
berikutnya muncul dalam kehidupan kontemporer kita. Dengan demikian, apabila
ada tuntutan pada periode baru-baru ini mengenai peran pemuda dan kepemimpinan,
sesungguhnya itu baru satu aspek yang kecil dalam peran sejarah pemuda.
Pokok
terpenting adalah semangat jaman seperti apa yang akan diwakili para pemuda
Indonesia saat ini, bukan pada posisi kepimpinan yang lebih merupakan milestone
kecil hasil sebuah pertarungan politik (dan sudah barang tentu bukan sesuatu yang
diberikan).
2.6
Dari Ujung Barat Indonesia
Untuk berkaca
tentang bagaimana kaum muda menjalankan peran dan fungsi dalam dunia politik
saat ini, tidak ada tempat paling menarik sebagai pembelajaran selain apa yang
terjadi di wilayah paling barat Indonesia saat ini: Nangroe Aceh Darussalam.
Mengapa Aceh menjadi rujukan dan apa yang dilakukan kaum muda Aceh sehingga
patut menjadi pembelajaran? Pertama-tama mungkin sifatnya romantis. Tidak ada
satu wilayah yang mana para pahlawannya telah begitu banyak memberikan
kebanggaan terhadap Indonesia.
Di
hampir setiap kota besar, nama-nama seperti Cut Nyak Din, Teuku Umar, Teuku Cik
Di Tiro begitu banyak menjadi simbol dari perjuangan Indonesia. Untuk membangun
harga diri dan kebanggaan sejarah perjuangan Indonesia, kita banyak berhutang
pada orang-orang yang berasal dari wilayah ujung barat Indonesia tersebut.
Bahkan, di era yang mana banyak orang Indonesia tidak sadar sejarah, masih
dengan mudah penduduk negeri ini sampai mereka yang duduk di sekolah dasar
untuk mengenal siapa itu Cut Nyak Din atau Teuku Umar misalnya.
Kedua
adalah karena situasi sosial dan politik yang ada di wilayah itu saat ini.
Perjanjian Damai di Helsinki antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) telah menciptakan sebuah situasi yang disebut seorang
ilmuwan politik sebagai political opportunity structure [Sidney Tarrow, 1982]
bagi aktor-aktor politik di Aceh, termasuk kaum muda mereka.
Berada
di wilayah NAD saat ini, kita dengan cepat dapat menangkap sebuah situasi jaman
di kalangan kaum muda untuk merumuskan dan membawa Aceh Baru dalam kehidupan
sosial politik masyarakat yang telah hancur lebur oleh perang selama beberapa
dekade dan juga bencana Tsunami.
Karakter
ini dapat dilihat dari salah satu sosok yang muncul di Aceh, yaitu Aguswandi,
yang merupakan tokoh intelektual muda Aceh sekaligus sekarang menjadi ketua
umum Partai Rakyat Aceh. Perjalanan hidupnya cukup menarik dan dapat kita
bandingkan dengan tokoh-tokoh pendiri bangsa ini. Dia lahir dari keluarga
petani biasa di Aceh, dan masuk sekolah menengah umum (SMU) di Banda Aceh dan
menjadi mahasiswa Syiah Kuala. Aguswandi tumbuh besar ketika ‘perang dalam
negeri’ menjadi bagian dalam sejarah Aceh, dan ia dapat dikatakan sebagai
‘generasi perang’ seperti juga rekan-rekan sebayanya.
Ketika
kuliah, ia membentuk apa yang disebut sebagai Solidaritas Mahasiswa untuk
Referendum (SMUR) yang sekaligus menjadi dasar baginya menempati posisi nomor
satu orang populer di Aceh dalam sebuah polling pada tahun 1999.
Tuntutannya
atas referendum di Aceh, dan popularitasnya, menyebabkan ia kemudian menjadi
buronan politik rejim Orde Baru yang memaksanya secara sembunyi-sembunyi
meninggalkan Aceh dan Indonesia (dan sudah barang tentu keluarga dan sahabat)
untuk hidup sebagai pelarian politik di negara orang (Inggris).
Hanya
perjanjian damai Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005 yang memungkinkannya
kembali ke tempat ia dilahirkan di Banda Aceh, bersama-sama pelarian politik
Aceh yang tinggal di berbagai negara. Fakta paling menarik adalah ketika ia
menulis dan menerbitkan buku berjudul “9 Langkah Memajukan Diri Membangun Aceh
Baru” pada awal tahun 2007. Di dalam buku ini, Aguswandi menulis 9 hal yang
menurutnya penting sebagai modal dasar membangun Aceh Baru, seperti belajar
bahasa Inggris, membangun etika kerja keras yang modern, merangkul proses
globalisasi dan lain sebagainya.
Pokok
inti dari apa yang dapat kita lihat dalam karya tersebut adalah sebuah gambaran
tentang sosok pemuda yang termasuk juga dapat dilihat dalam gambaran
rekan-rekan segenerasinya di Aceh saat ini yang sibuk memikirkan kondisi
masyarakatnya dan menawarkan sebuah formula yang diyakini dapat membawa
kebaikan bagi masyarakat. Eksperimen-eksperimen semacam ini terus berjalan, dan
dinamika pemuda yang menjadi denyut nadi perubahan dalam sejarah Indonesia
dapat kita temukan di Aceh saat ini.
Dalam
kondisi ini, banyak karakter dan sosok pemuda seperti Aguswandi yang dalam
enerji muda mereka sibuk memikirkan apa yang baik buat masyarakatnya. Mereka
membangun partai politik (seperti Partai Rakyat Aceh) atau organisasi massa
(seperti Sentral Informasi Referendum Aceh, SIRA) dan kebanyakan mereka
memiliki hasrat politik luar biasa membangun masyarakat dan menyusun kekuatan
untuk menguasai institusi-institusi politik formal (dan tidak meminta untuk
menjadi pemimpin seperti dalam pengalaman kita baru-baru ini). Dalam kaitan
ini, dinamika kaum muda Aceh dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua di
Indonesia.
Mereka
tengah mewakili sebuah semangat jaman yang mana perubahan-perubahan yang mereka
inginkan—meskipun belum jelas benar bagaimana akibat perubahan itu
nantinya—dijalankan dengan serangkaian eksperimen dan dinamisme pemuda. Aceh
Baru adalah sebuah cita-cita besar—lebih dari sekedar tuntutan ingin menjadi pemimpin—yang
memang tumbuh dalam sebuah masyarakat yang tengah berubah dengan cepat.
BAB
3. PENUTUP
Sebagai
penutup, setidaknya ada sebuah tantangan yang perlu dilontarkan dan perlu kita
jawab bersama: dengan alasan apa kita bergerak? Masalah besar apa yang dihadapi
masyarakat Indonesia sehingga para pemudanya perlu bergerak? Cita-cita yang
bagaimana yang dapat menggerakan semangat psikologis dan karakter dinamis
pemuda di Indonesia saat ini? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan dasar bagi kita
semua ketika kita mencoba menempatkan posisi pemuda dalam sebuah arena politik.
Barangkali
kita bisa meniru rekan-rekan kita para pemuda di Aceh yang bermimpi untuk
membangun Aceh Baru. Kita bisa menamakannya sebagai Indonesia Baru dan kita
harus memiliki sebuah cita-cita tentang bagaimanakah karakter Indonesia Baru?
Apakah kita sekarang masih memiliki sebuah rasa bangga ketika menyatakan diri
sebagai orang Indonesia? Dan apabila tidak, lalu bagaimana caranya kita bisa
menjadi bangga? Ringkas kata: Ayo bergerak untuk Indonesia Baru.
0 komentar:
Posting Komentar