Teori Sister Calista Roy
Empat Elemen utama dari teori Roy adalah : 1) Manusia sebagai
penerima asuhan keperawatan 2) Konsep lingkungan 3) Konsep sehat dan 4)
Keperawatan. Dimana antara keempat elemen tersebut saling mempengaruhi satu
sama lain karena merupakan suatu sistem.
1. Manusia
Manusia merupakan fokus utama yang perlu diperhatikan karena
manusialah yang menjadi penerima asuhan keperawatan, baik itu individu,
keluarga, kelompok maupun masyarakat, yang dipandang sebagai “Holistic Adaptif
System”. Dimana “Holistic Adaptif System “ ini merupakan perpaduan antara
konsep sistem dan konsep adaptasi.
Menurut Callista Roy, 1991, manusia dalam paradigma keperawatan adalah :
a. Manusia Sebagai
System Adaptive.
Sistem, adalah suatu kesatuan dari beberapa bagian yang
berhubungan dengan keseluruhan fungsi untuk beberapa tujuan dan adanya saling
keterkaitan dari beberapa bagiannya. System terdiri dari proses input, autput, kontrol dan umpan balik ( Roy,
1991 ), dengan penjelasan sebagai berikut:
1) Input
Roy mengidentifikasi bahwa input
sebagai stimulus, merupakan kesatuan informasi, bahan-bahan atau energi dari
lingkungan yang dapat menimbulkan respon, dimana dibagi dalam tiga tingkatan
yaitu stimulus fokal, kontekstual dan stimulus residual.
a) Stimulus fokal yaitu stimulus
yang langsung berhadapan dengan seseorang, efeknya segera, misalnya infeksi
b) Stimulus kontekstual yaitu
semua stimulus lain yang dialami seseorang baik internal maupun eksternal yang
mempengaruhi situasi dan dapat diobservasi, diukur dan secara subyektif
dilaporkan. Rangsangan ini muncul secara bersamaan dimana dapat menimbulkan
respon negatif pada stimulus fokal seperti anemia, isolasi sosial
c) Stimulus residual yaitu
ciri-ciri tambahan yang ada dan relevan dengan situasi yang ada tetapi sukar
untuk diobservasi meliputi kepercayan, sikap, sifat individu berkembang sesuai
pengalaman yang lalu, hal ini memberi proses belajar untuk toleransi. Misalnya
pengalaman nyeri pada pinggang ada yang toleransi tetapi ada yang tidak.
2) Kontrol
Proses kontrol seseorang menurut Roy
adalah bentuk mekanisme koping yang di gunakan. Mekanisme kontrol ini dibagi
atas regulator dan kognator yang merupakan subsistem.
a) Subsistem regulator
Subsistem
regulator mempunyai komponen-komponen : input-proses dan output. Input stimulus
berupa internal atau eksternal. Transmiter regulator sistem adalah kimia,
neural atau endokrin. Refleks otonom adalah respon neural dan brain sistem dan
spinal cord yang diteruskan sebagai perilaku output dari regulator sistem.
Banyak proses fisiologis yang dapat dinilai sebagai perilaku regulator
subsistem
b) Subsistem kognator
Stimulus untuk subsistem kognator dapat eksternal maupun internal. Perilaku
output dari regulator subsistem dapat menjadi stimulus umpan balik untuk
kognator subsistem. Kognator kontrol proses berhubungan dengan fungsi otak
dalam memproses informasi, penilaian dan emosi. Persepsi atau proses informasi
berhubungan dengan proses internal dalam memilih atensi, mencatat dan
mengingat. Belajar berkorelasi dengan proses imitasi, reinforcement (penguatan)
dan insight (pengertian yang mendalam). Penyelesaian masalah dan pengambilan
keputusan adalah proses internal yang berhubungan dengan penilaian atau
analisa. Emosi adalah proses pertahanan untuk mencari keringanan, mempergunakan
penilaian dan kasih sayang.
3) Output
Output dari suatu sistem adalah
perilaku yang dapt di amati, diukur atau secara subyektif dapat dilaporkan baik
berasal dari dalam maupun dari luar . Perilaku ini merupakan umpan balik untuk
sistem. Roy mengkategorikan output sistem sebagai respon yang adaptif atau
respon yang tidak mal-adaptif. Respon yang adaptif dapat meningkatkan
integritas seseorang yang secara keseluruhan dapat terlihat bila seseorang
tersebut mampu melaksanakan tujuan yang berkenaan dengan kelangsungan hidup,
perkembangan, reproduksi dan keunggulan. Sedangkan respon yang mal adaptif
perilaku yang tidak mendukung tujuan ini.
Roy telah menggunakan bentuk
mekanisme koping untuk menjelaskan proses kontrol seseorang sebagai adaptif
sistem. Beberapa mekanisme koping diwariskan atau diturunkan secara genetik
(misal sel darah putih) sebagai sistem pertahanan terhadap bakteri yang
menyerang tubuh. Mekanisme yang lain yang dapat dipelajari seperti penggunaan
antiseptik untuk membersihkan luka. Roy memperkenalkan konsep ilmu Keperawatan
yang unik yaitu mekanisme kontrol yang disebut Regulator dan Kognator dan
mekanisme tersebut merupakan bagian sub sistem adaptasi.
Dalam memelihara integritas
seseorang, regulator dan kognator subsistem diperkirakan sering bekerja sama.
Tingkat adaptasi seseorang sebagai sistem adaptasi dipengaruhi oleh
perkembangan individu itu sendiri, dan penggunaan mekanisme koping. Penggunaan
mekanisme koping yang maksimal mengembangkan tingkat adaptasi seseorang dan
meningkatkan rentang stimulus agar dapat berespon secara positif. Untuk
subsistem kognator, Roy tidak membatasi konsep proses kontrol, sehingga sangat
terbuka untuk melakukan riset tentang proses kontrol dari subsitem kognator
sebagai pengembangan dari konsep adaptasi Roy.
Roy mengembangkan proses internal
seseorang sebagai sistem adaptasi dengan menetapkan sistem efektor, yaitu 4
mode adaptasi meliputi fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan
interdependensi.
a. Mode Fungsi Fisiologis
Fungsi fisiologi berhubungan dengan
struktur tubuh dan fungsinya. Roy mengidentifikasi sembilan kebutuhan dasar
fisiologis yang harus dipenuhi untuk mempertahankan integritas, yang dibagi
menjadi dua bagian, mode fungsi fisiologis tingkat dasar yang terdiri dari 5
kebutuhan dan fungsi fisiologis dengan proses yang kompleks terdiri dari 4
bagian yaitu :
·
Oksigenasi : Kebutuhan tubuh terhadap oksigen dan prosesnya, yaitu
ventilasi, pertukaran gas dan transpor gas (Vairo,1984 dalam Roy 1991).
·
Nutrisi : Mulai dari proses ingesti dan asimilasi makanan untuk
mempertahankan fungsi, meningkatkan pertumbuhan dan mengganti jaringan yang
injuri. (Servonsky, 1984 dalam Roy 1991)
·
Eliminasi : Yaitu ekskresi hasil dari metabolisme dari instestinal dan
ginjal. (Servonsky, 1984 dalam Roy 1991)
·
Aktivitas dan istirahat : Kebutuhan keseimbangan aktivitas fisik dan
istirahat yang digunakan untuk mengoptimalkan fungsi fisiologis dalam
memperbaiki dan memulihkan semua komponen-komponen tubuh. (Cho,1984 dalam Roy,
1991)
· Proteksi/ perlindungan :
Sebagai dasar defens tubuh termasuk proses imunitas dan struktur integumen (
kulit, rambut dan kuku) dimana hal ini penting sebagai fungsi proteksi dari
infeksi, trauma dan perubahan suhu. (Sato, 1984 dalam Roy 1991)
· The sense / perasaan :
Penglihatan, pendengaran, perkataan, rasa dan bau memungkinkan seseorang
berinteraksi dengan lingkungan . Sensasi nyeri penting dipertimbangkan dalam
pengkajian perasaan.( Driscoll, 1984, dalam Roy, 1991)
· Cairan dan elektrolit. :
Keseimbangan cairan dan elektrolit di dalamnya termasuk air, elektrolit, asam
basa dalam seluler, ekstrasel dan fungsi sistemik. Sebaliknya inefektif fungsi
sistem fisiologis dapat menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit (Parly, 1984,
dalam Roy 1991)
· Fungsi syaraf / neurologis :
Hubungan-hubungan neurologis merupakan bagian integral dari regulator koping
mekanisme seseorang. Mereka mempunyai fungsi untuk mengendalikan dan
mengkoordinasi pergerakan tubuh, kesadaran dan proses emosi kognitif yang baik
untuk mengatur aktivitas organ-organ tubuh (Robertson, 1984 dalam Roy, 1991)
· Fungsi endokrin : Aksi endokrin
adalah pengeluaran horman sesuai dengan fungsi neurologis, untuk menyatukan dan
mengkoordinasi fungsi tubuh. Aktivitas endokrin mempunyai peran yang signifikan
dalam respon stress dan merupakan dari regulator koping mekanisme ( Howard
& Valentine dalam Roy,1991).
b. Mode Konsep Diri
Mode konsep diri berhubungan dengan
psikososial dengan penekanan spesifik pada aspek psikososial dan spiritual
manusia. Kebutuhan dari konsep diri ini berhubungan dengan integritas psikis
antara lain persepsi, aktivitas mental dan ekspresi perasaan. Konsep diri
menurut Roy terdiri dari dua komponen yaitu the physical self dan the
personal self.
·
The physical self, yaitu bagaimana seseorang
memandang dirinya berhubungan dengan sensasi tubuhnya dan gambaran tubuhnya.
Kesulitan pada area ini sering terlihat pada saat merasa kehilangan, seperti
setelah operasi, amputasi atau hilang kemampuan seksualitas
·
The personal self, yaitu berkaitan dengan
konsistensi diri, ideal diri, moral- etik dan spiritual diri orang tersebut.
Perasaan cemas, hilangnya kekuatan atau takut merupakan hal yang berat dalam
area ini.
c. Mode Fungsi Peran
Mode fungsi peran mengenal pola –pola
interaksi sosial seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, yang
dicerminkan dalam peran primer, sekunder dan tersier. Fokusnya pada bagaimana
seseorang dapat memerankan dirinya dimasyarakat sesuai kedudukannya .
d. Mode Interdependensi
Mode interdependensi adalah bagian
akhir dari mode yang dijabarkan oleh Roy. Fokusnya adalah interaksi untuk
saling memberi dan menerima cinta/ kasih sayang, perhatian dan saling
menghargai.
Interdependensi yaitu
keseimbangan antara ketergantungan dan kemandirian dalam menerima sesuatu untuk
dirinya. Ketergantungan ditunjukkan dengan kemampuan untuk afiliasi dengan
orang lain. Kemandirian ditunjukkan oleh kemampuan berinisiatif untuk melakukan
tindakan bagi dirinya. Interdependensi dapat dilihat dari keseimbangan antara
dua nilai ekstrim, yaitu memberi dan menerima.
2. Lingkungan
Stimulus yang berasal dari individu
dan sekitar individu merupakan elemen dari lingkungan, menurut Roy. Lingkungan
didefinisikan oleh Roy adalah “ Semua kondisi, keadaan dan pengaruh-pengaruh
disekitar individu yang dapat mempengaruhi perkembangan dan perilaku individu
dan kelompok “(Roy and Adrews, 1991 dalam Nursing Theory : 260) . Dalam hal ini
Roy menekankan agar lingkungan dapat didesign untuk meningkatkan kemampuan
adaptasi individu atau meminimalkan resiko yang akan terjadi pada individu
terhadap adanya perubahan.
Keberhasilan
individu dan kelompok untuk beradaptasi dibagi lagi oleh Roy menjadi tiga level adaptasi;
a.
Integrated level
Individu atau kelompok
berada pada level ini jika adaptasi yang dilakukan berhasil dengan baik dan
sesuai dengan kebutuhannya.
b.
Compensatory level
Level ini dicapai ketika
stimulus memacu proses internal (subsistem regulator dan cognator, atau subsistem stabilizer dan
inovator) untuk mencapai adaptasi.
c.
Compromised level
Individu dan
kelompok berada di level ini jika tidak mampu beradaptasi secara adekuat.
3. Sehat
Roy berpandangan bahwa
individu dan kelompok merupakan sistem yang adaptif sehingga dapat berinteraksi
dan mempengaruhi lingkungan. Sehat dilihat sebagai refleksi keselarasan antara
individu dengan lingkungan.
Roy mendefinisikan sehat adalah “A State and a process of being and becoming an integrated and whole
person” (Roy and Adrews, 1991 dalam Nursing Theory : 261).
Asuhan keperawatan berdasarkan model Roy bertujuan untuk
meningkatkan kesehatan individu dengan cara meningkatkan respon adaptifnya.
4. Keperawatan
Tujuan keperawatan menurut Roy adalah meningkatkan respon
adaptif individu dan menurunkan respon inefektif individu, dalam kondisi sakit
maupun sehat (dikutip oleh McKenna,1997). Selain meningkatkan kesehatan di semua proses kehidupan,
keperawatan juga bertujuan untuk mengantarkan individu meninggal dengan damai.
Untuk mencapai tujuan tersebut, perawat harus dapat mengatur
stimulus fokal, kontekstual dan residual yang ada pada individu, dengan lebih
menitikberatkan pada stimulus fokal, yang merupakan stimulus tertinggi.
Menurut Roy, elemen dari proses keperawatan meliputi
pengkajian tingkat pertama dan kedua, diagnosa keperawatan, penentuan tujuan,
intervensi dan evaluasi. Fokus dari model ini adalah adaptasi dan tujuan
pengkajian adalah mengidentifikasi tingkah laku yang aktual dan potensial
apakah memperlihatkan maladaptif dan mengidentifikasi stimulus atau penyebab
perilaku maladaptif.
Roy merekomendasikan pengkajian dibagi menjadi dua bagian,
yaitu pengkajian tahap dan pengkajian tahap II. Berikut ini merupakan proses
keperawatan menurut teori adaptasi Roy:
1. Tahap I: Pengkajian Perilaku
Ini merupakan tahap proses keperawatan
yang bertujuan mengumpulkan data dan memutuskan klien adaptif atau maladaptif.
Termasuk dalam model ini adalah kebutuhan dasar manusia apakah dapat
dipengaruhi oleh kekurangan atau kelebihan. misalnya terlalu sedikit oksigen ,
terlalu tinggi gula darah atau terlalu banyak ketergantungan. Perawat
menggunakan wawancara, observasi dan pengukuran untuk mengkaji perilaku klien
sekarang pada setiap mode. Berdasarkan pengkajian ini perawat menganalisis
apakah perilaku ini adaptif, maladaptif atau potensial maladaptif.
2. Tahap II: Pengkajian Faktor-Faktor Yang Berpengaruh
Pada tahap ini termasuk pengkajian stimuli yang signifikan
terhadap perubahan perilaku seseorang yaitu stimuli focal, kontekstual dan
residual.
a. Identifikasi Stimuli Focal
Stimuli focal merupakan perubahan perilaku yang dapat
diobservasi. Perawat dapat melakukan pengkajian dengan menggunakan pengkajian
perilaku yaitu: keterampilan melakukan observasi, melakukan pengukuran dan
interview
b. Identifikasi Stimul Kontekstual
Stimuli kontekstual ini berkontribusi terhadap penyebab
terjadinya perilaku atau presipitasi oleh stimulus focal. Sebagai contoh anak
yang di rawat dirumah sakit mempunyai peran perilaku yang inefektif yaitu tidak
belajar. Focal stimulus yang dapat diidentifikasi adalah adanya fakta bahwa
anak kehilangan skedul sekolah. Stimulus kontekstual yang dapat diidentifikasi
adalah secara internal faktor anak menderita sakit dan faktor eksternalnya
adalah anak terisolasi. Stimulasi kontekstual dapat diidentifikasi oleh perawat
melalui observasi, pengukuran, interview dan validasi.
Menurut Martinez, 1976 dalam Roy 1989, faktor kontekstual
yang mempengaruhi mode adaptif adalah genetic, sex, tahap perkembangan, obat,
alkohol, tembakau, konsep diri, peran fungsi, interdependensi, pola interaksi
sosial, koping mekanisme, stress emosi dan fisik religi, dan lingkungan fisik.
c. Identifikasi Stimul Residual
Pada tahap ini yang mempengaruhi adalah pengalaman masa lalu.
Helson dalam Roy, 1989 menjelaskan bahwa beberapa faktor dari pengalaman lalu
relevan dalam menjelaskan bagaimana keadaan saat ini. Sikap, budaya, karakter
adalah faktor residual yang sulit diukur dan memberikan efek pada situasi
sekarang.
3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan menurut teori adaptasi Roy didefinisikan
sebagai suatu hasil dari proses pengambilan keputusan berhubungan dengan kurang
mampunya adaptasi. Diagnosa keperawatan dirumuskan dengan mengobservasi tingkah
laku klien terhadap pengaruh lingkungan. Menurut Roy (1991) ada 3 metode dalam
membuat diagnosa keperawatan :
a)
Model Adaptif
Menggunakan 4 (empat) model adaptif, yaitu fisiologis,
konsep diri, fungsi peran dan interdependen:
Tabel
2.1. Tipologi masalah adaptasi menurut
Roy, 1989
TIPOLOGI ADAPTASI
|
MASALAH
|
PHYSIOLOGICAL MODE
|
|
1. Oksigenasi
|
Hipoksia/shock
Kerusakan
ventilasi
Ketidakadequat
pertukaran gas
Perubahan
perfusi jaringan
Ketidakmampuan
dlm proses kompensasi pada perubahan kebutuhan oksigen
|
2. Nutrisi
|
Nutrisi
kurang / lebih dari kebutuhan tubuh
Anoreksia
Nausea
/ Vomiting
Ketidak
efektifan strategi koping thd penurunan ingestik
|
3. Eliminasi
|
D
i a r e
Inkontinensia
Konstipasi
Retensi urine
Ketidakefektifan strategi koping thp penurunan fungsi
eliminasi.
|
4. Aktifitas dan istirahat
|
Ketidak
adequate aktifitas & istirahat
Keterbatasan
mobilitas & Koordinasi
Intoleransi
aktifitas
Immobilisasi
Sleep
deprivation
Resiko
gangguan pola tidur
Kelelahan
(Fatigue)
|
5. Proteksi
|
Gatal-gatal
Infeksi
Ketidak
efektifan koping thd perubahan status imun
Kulit
Kering
|
6. Sense
|
Resiko
injuri
Kehilangan
kemampuan self-care
Resiko
distorsi komunikasi
Stigma
Sensori
monoton / distorsi
Nyeri
akut
Gangg.
Persepsi
Koping
tak efektif thd perubahan sensori
|
7. Cairan dan elektrolit
|
D
e h i d r a s I
Udem
Retensi
cairan intra sel
Hyper/Hypo
Kalsemia, kalemia, Natrium
Ketidakseimbngan
asam-basa
Ketidakefektifan
regulasi system Bufer pda perub. pH.
|
8.Fungsi neurologi
|
Penurunan
tingkat kesadaran
Pengurangan
fungsi memori (daya ingat)
Konpensasi
tak efektif pd penurunan fgs. kognitif
Resiko
terjadi kerusakan otak sekunder
|
9.Fungsi endokrin
|
Ketidakefektifan
regulasi/pengaturan hormon yg direfleksikan dlm fatigue, iritabilitas dan
intoleransi pd panas
Ktdk
efektifan perkembangan reproduksi
Ktdk
stabilan system hormon
Ktdk
stabilan siklus internal stress.
|
B.SELF
KONSEP MODE
|
|
1. Physical Self
|
Gangguan
body image
Disfungsi
seksual
Kehilangan
Rape
Trauma syndrome
|
2. Personal self
|
Ansietas
Ketidak
berdayaan
Perasaan
bersalah
Harga
diri rendah
|
C.ROLE
FUNCTION MODE
|
Transisi
Peran
Konflik
Peran
Gangguan
/ Kehilangan Peran
|
D.INTERDEPENDENSI MODE
|
Kesepian
Cemas
karena perpisahan
|
b) Mengobservasi respon klien yang paling menonjol pada satu
mode adaptif, misalnya ; mode fisisiologis sub kebutuhan cairan
Contoh kasus untuk diare intake : 1200 ml, out put : 3500 ml,
keluhan haus (+), turgor tidak elastis, kelopak mata tampak cekung. Dari respon
pasien tersbut dapat disimpulkan bahwa diagosa keperawatan pasien menurut Roy
adalah defisit volume cairan
c) Menyimpulkan respon klien dari satu atau lebih dari
mode adaptif yang terkait dengan stimulus yang sama. Misalnya mode yang
terganggu adalah : mode fisiologis, konsep diri dan interdependensi
Contoh kasus ; klien mengeluh tidak mau makan, makan hanya
habis ¼ porsi, BB turun 2 Kg dari normal. Dari data tersebut klien mengalami
gangguan kebutuhan nutrisi : nutrisi kurang dari kebutuhan (mode fisiologis).
Karena klien kekurangan nutrisi mengakibatkan posturnya tampak kurus, hal ini
membuat klien mengalami gangguan Body Image ( Mode Konsep diri ), kondisi ini
juga mengakibatkan klien tidak dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari ( Mode
Interdependensi )
4. Penentuan Tujuan
Roy (1984) menyampaikan bahwa secara
umum tujuan pada intervensi keperawatan adalah untuk mempertahankan dan
mempertinggi perilaku adaptif dan mengubah perilaku inefektif menjadi adaptif.
Penentuan tujuan dibagi atas tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek.
Tujuan jangka panjang yang akan dicapai meliputi : Hidup, tumbuh, reproduksi
dan kekeuasaan. Tujuan jangka pendek meliputi tercapainya tingkah laku yang
diharapkan setelah dilakukan manipulasi terhadap stimulus focal, konteksual dan
residual.
5. Intervensi
Intervensi keperawatan dilakukan
dengan tujuan , mengubah atau memanipulasi stimulus fokal, kontekstual dan
residual, juga difokuskan pada koping individu atau zona adaptasi, sehingga
seluruh rangsang sesuai dengan kemampuan individu untuk beradaptasi. Tindakan
keperawatan berusaha membantu stimulus menuju perilaku adaptif. Hal ini
menekankan kembali pentingnya mengidentifikasi penyebab selama pengkajian tahap
II.
6. Evaluasi
Evaluasi merupakan penilaian efektifitas terhadap intervensi
keperawatan sehubungan dengan tingkah laku pasien. Perawat harus mengkaji
tingkah laku pasien setelah diimplementasi. Intervensi keperawatan dinilai
efektif jika tingkah laku pasien sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.
0 komentar:
Posting Komentar